Tari CaCi Flores Nusa Tenggara Timur
Seorang petarung caci berputar-putar dan berjingkrak seperti kuda jantan mengelilingi sekelompok musuhnya. Kulit hitam di bawah sengatan sinar mentari menutupi otot-otot kering yang mencengkeram sebuah pecut kayu berujung kulit kerbau yang suaranya dapat mengoyak suasana riuh rendah. Setelah saling
memanaskan besutan adrenalin, seorang paki, penyerang yang memegang pecut, bersiap dengan kuda-kudanya mengayunkan sabetannya ke arah seorang ta’ang, yaitu penangkis yang diam bagai pasak. Ta’ang siap menangkis dengan sebongkah nggiling yaitu tameng kulit kerbau di tangan kiri dan tereng yaitu kayu penangkis di tangan kanan.
Tari tradisional adalah salah satu dari sejumlah kekayaan budaya bangsa Indonesia yang multikultural. Setiap daerah memiliki jenis dan ragam tarian sendiri yang tentunya unik dan menarik bagi wisatawan. Tari caci salah satunya, yaitu atraksi tarian perang khas Manggarai, di Nusa Tenggara Timur yang menyiratkan simbol
dan makna kepahlawanan serta keperkasaan. Tarian ini melibatkan dua orang laki-laki yang masing-masing bertindak sebagai penyerang dan sebagai pihak yang bertahan (penangkis serangan). Penari Caci yang saling unjuk kebolehan tersebut
biasanya berasal dari dua kelompok, masing-masing terdiri dari delapan orang yang secara bergantian bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan bertahan. Setiap penari akan mendapat kesempatan berhadapan dengan anggota kelompok lawan, baik sebagai penyerang atau penangkis serangan.
Para penari caci semuanya adalah laki-laki tetapi tidak semua lelaki
dapat unjuk kebolehan dan keterampilan di arena caci. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya adalah tubuh atletis adalah salah satu syarat yang harus dimiliki seorang penari caci. Syarat lainnya, penari harus pandai pula menyerang lawan dan atau bertahan dari serangan lawan, luwes dalam melakukan gerak tari, serta dapat menyanyikan lagu daerah. Hal-hal tersebut yang akan mereka lakukan selama pertunjukkan yang diringi musik gendang, gong, dan nyanyian.
Pakaian penarinya yang khas sudah menjadi daya tarik sendiri. Penari perang tersebut mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songke (sejenis songket khas Manggarai) yang dikenakan di sebatas pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal) berbentuk seperti tanduk kerbau dan terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung.
Bersiaplah mendengar deru suara tandak atau danding menggaung saat pecut menghantam lawan. Bagai suara senapan menggelegar, tameng beradu dengan ujung pecut terbuat dari kulit kerbau. Seutas
lidi yang dipasang di ujung pecut atau mbete luput dari tameng ataupun tereng. Luka menggurat mengucurkan darah. Sorak penonton menggema, memahami makna tetesan darah sebagai persembahan untuk kesuburan dan lambang kejantanan.
Para penari biasanya juga mengenakan hiasan mirip ekor kuda terbuat dari bulu ekor kuda (lalong denki). Pada bagian sisi pinggang terpasang sapu tangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan. Terdapat pula untaian pada pinggang belakang yang akan bergemirincing mengikuti gerak penari sekaligus penambah semarak musik gendang dan gong serta nyanyian (nenggo atau dere) pengiring tarian.
Para penari tersebut nampak gagah mengenakan pakaian tersebut
ditambah lagi dengan postur tubuh yang atletis. Penampilan mereka sebagai penari perang semakin meyakinkan dengan atribut senjata. Penari yang berperan sebagai penyerang (paki) dipersenjatai dengan cambuk yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang dikeringkan. Pegangan cambuk juga terbuat dari lilitan kulit kerbau. Pada bagian ujung cambuk, biasanya dipasang
kulit kerbau tipis yang sudah dikeringingkan (lempa) atau dapat juga menggunakan lidi enau yang masih hijau (pori).
Tak sama seperti beberapa bela diri lain, dalam Caci boleh menyerang bagian tubuh dari perut hingga kepala tetapi tidak bagian perut ke bawah. Acap kali mengenai mata pun sudah menjadi hal lumrah. Sebelum Caci dilangsungkan, sebuah pemanjatan nyanyian bernama kelong dialunkan sebagai panggilan kepada arwah para leluhur. Saat kelong dilantunkan, dan tandak atau danding mengikuti, maka Caci harus dilaksanakan. Tidak ada kelong tanpa Caci dan sebaliknya.
Sementara itu, penari yang berperan sebagai penangkis serangan (ta’ang) dibekali perisai (nggiling) yang juga terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan dan berbentuk bundar. Selain itu, ia juga memegang sejenis busur (agang atau tereng) yang terbuat dari bambu dan rotan yang berjalin dan dibentuk melengkung serupa busur.
Sebelum tarian seru ini dimulai, pertunjukan tari caci akan diawali
terlebih dahulu dengan pentas tari danding atau tandak manggarai. Tarian ini dibawakan laki-laki dan perempuan yang memang khusus dipertunjukkan sebagai atraksi untuk meramaikan tari caci. Selain melakukan gerak tari, para penari danding juga akan melantunkan lagu dengan lirik untuk membangkitkan semangat para petarung Caci. Para penari Caci sebelum memasuki arena yang biasanya di lapangan berumput, akan terlebih dahulu melakukan gerakan pemanasan dengan menggerakkan badannya serupa gerakan kuda. Saat menantang lawan, biasanya dilakukan sambil menyanyikan lagu-lagu adat.
Pihak penyerang akan menyerang dan mencambuk tubuh lawan,
terutama bagian lengan, punggung, dan dada. Tugas pihak lawan adalah menangkis atau menghindari serangan tersebut dengan perisai dan busur yang ia pegang di masing-masing tangan. Apabila kurang lincah mengelak maka dipastikan cambuk akan menyisakan bekas di tubuh hingga berdarah. Apabila pihak yang bertahan terkena cambuk pada matanya maka ia dinyatakan kalah (beke) dan kedua penari harus keluar arena dan digantikan oleh sepasang penari lainnya.
Pedih terlihat samar di mata seorang ta’ang tapi tak boleh di antara
ta’ang dan paki tercipta permusuhan, bahkan amarah sekalipun. Caci adalah sebuah permainan yang menjunjung tinggi sportifitas dan merayakan sebuah rasa kasih sayang dari kakak kepada adik. Sungguh tak lumrah, tapi legenda di balik permainan dan tarian ini akan menjadi sebuah pemahaman.
Bekas luka dari atraksi tari tersebut bagaimana pun juga dianggap
sebagai kebanggaan karena merupakan lambang maskulinitas. Kabarnya Caci merupakan medium pembuktian ketangkasan seorang laki-laki Manggarai sekaligus sebagai ajang menempa diri dengan semangat sportivitas. Dalam mempertunjukkan tarian ini, para penari saling menghormati satu sama lain dengan menjaga ucapan, emosi, sportifitas, dan rasa hormat. Selesai pertunjukkan, tidak ada dendam di antara para penari karena inilah salah satu seni kebanggaan masyarakat Manggarai di Flores bagian barat. Sebuah pertunjukkan yang unik dimana uji ketangkasan dipadukan dengan seni berupa gerak tari dan lagu daerah khas Manggarai.
Caci sendiri berasal dari dua kata yaitu 'ca' yang berarti satu dan 'ci' yang artinya uji. Jadi makna dari caci adalah uji ketangkasan satu
lawan satu. Tarian ini memiliki kisah asal mula, yaitu dahulu kala, dua orang kakak beradik berjalan melewati hutan padang rumput dengan seekor kerbau yang mereka pelihara. Si adik diceritakan terjerumus dalam sebuah lubang dalam sehingga sang kakak panik mencari apapun untuk menarik adiknya. Tak satu pun dapat membantu upayanya, kecuali ia harus menyembelih kerbaunya dan menggunakan kulitnya untuk menarik sang adik. Itu pun akhirnya ia lakukan dan si adik terselamatkan. Untuk merayakannya, mereka menciptakan permainan Caci untuk memperingati rasa kasih sayang di antara keduanya.
Seorang petarung Caci mengenakan pangga, sebuah asesoris kepala dan bukan pelindung wajah. Bentuknya seperti kepala kerbau bertanduk tiga. Di ujung tanduknya dihiasi bulu ekor kuda. Hal ini mengingatkan dua orang kakak beradik dalam legenda. Tubuh petarung tak dilindungi seutas kain pun. Celana putih bersih dikenakan dibalik sarung songket yang terkenal dari Flores atau Sumba. Ekor kuda pun dipasang dibelakang songket yang menjadikan seorang petarung Caci seperti layaknya seekor kuda atau kerbau yang gagah dan berjiwa satria.
Tari Caci biasanya hanya dipentaskan pada acara-acara khusus, yaitu hari-hari besar seperti HUT Kemerdekaan RI atau acara-acara adat diantaranya syukuran musim panen (hang woja), ritual tahun baru (penti), upacara pembukaan lahan baru, upacara menyambut tamu, dan sebagainya. Saat diadakan pertunjukkan caci, biasanya pesta besar pun dilangsungkan dengan memotong beberapa ekor kerbau kemudian disajikan sebagai makanan bagi para peserta dan penonton. Biasanya, dua kelompok tari caci merupakan kelompok laki-laki dari dua desa atau kampung. Sumber: Indonesia.travel